Skip to content

Diam bukan berarti benci

RLWC (15/10/2011)
tema: membuat fiksi dari tokoh nyata

Kulitnya gelap, langkahnya tegap seolah menyokong tinggi badannya yang mendekati 180-an sentimeter. Dengan usia nyaris menginjak 30, dia tampak 10 tahun lebih muda. Hari-hari baginya berlalu dalam lautan sketsa. Siapa pun yang menarik matanya pastilah ia salin dalam sketsa. Jangankan satu, lusinan sketsa Yuki Isoya sang wanita idola dari Do As Infinity sudah marak menghias kamar kost yang hanya sepetak itu. Tuan sketsa satu ini, meskipun agak pendiam, mampu menggores lusinan warna ceria yang memukau begitu ia bertemu kanvas.

***

Dia merapikan alat lukisnya. Sudah hampir dua belas kali dia duduk di beranda rumah sederhana itu, memandangi nona cantik yang keluar setiap jam berdentang tujuh kali. Selalu begitu, berulang. Membuka alat lukis, mengambil kertas, kanvas, apapun. Mencoba menggores segaris saja alis mata sang nona. Lalu gagal. Selalu. Kemudian ia akan merapikan alat lukisnya, masuk kembali ke dalam rumah, dan berangkat kuliah.
Dia tahu nona itu tak akan lama di sini. Hanya 6 bulan selagi ia belajar menari. Kemudian ia akan kembali ke tanah airnya. Tidak akan ada cukup waktu melukiskan senyum indahnya saat pagi. Dia juga tahu nona itu ramah sekali. Kemarin dia sempat berkenalan, “Mayu..” Katanya ceria. Tapi ya sudah, cukup begitu saja. Tidak pernah ada keberanian untuk saling bertegur sapa. Dia begitu cantik. “Ngga mirip Yuki sih, tapi cantik.” Gumamnya setiap malam kala melihat puluhan koleksi sketsa Yuki Isoya di kamarnya. “Besok aku harus menggambarnya. Harus!”
Jam berdentang tujuh kali. Ia buru-buru mengambil pensil dan secarik kertas. Merapikan rambutnya yang acak-acakan dengan jari, setengah berlari menggapai pintu depan “Harus…harus!” Ia meyakinkan diri.
Lama dia menunggu di beranda tua itu, tapi sang nona tak juga muncul. Ia menyerah.
Malam datang. Suara gagak bersahutan memekakkan telinga. “Berisiiiik..!” Ia menutup telinganya rapat-rapat sambil berlari ke jalan. Dari dulu ia tidak pernah suka suara parau gagak. “Macam pekuburan saja..” Katanya pada sang empunya rumah saat ia baru pindah ke sana. Pakde Bas hanya senyum saja “Sudah dari jaman Pakde pindah sini tho, gagak-gagak betah sekali ngayom.” Bukde yang ramah ikut menambahkan “Iyo, ndak tahu yo opo iki ruma adem opo wangine koyo bangke..hehehe.” Ia tersenyum.
Ya sudahlah, malam ini pun tak mungkin ia menghindari suara-suara parau di atas. Lagipula ini hari penting. Mana ada waktu mengurusi gagak. Malam ini mereka akan mengadakan pementasan seni di gedung tua. Dia bergegas, nyaris terlambat. Pementasan ini sangat penting baginya karena di sanalah dia menemukan dirinya yang lain. Ramanda yang bukan tukang sketsa, bukan tukang curi pandang wajah-wajah di sekitarnya. Lain dari dunia penuh Yuki Isoya yang begitu digemarinya. Lain dari wajah polos nan rupawan yang ditunggunya setiap pagi.
Pementasan ini baginya adalah pelepasan. Ramanda akan menjelma menjadi Rahwana yang Antagonis, lantang, gagah dan tak terkalahkan. Yah, setidaknya sampai dia bertemu Arjuna.
Panggung sudah terbuka saat dia tiba dengan nafas tersengal
“Ealaah, telat lagi! Weis ayo cepet dandan, ora ono waktu.” Ujar Mas Cipto
“Rama! Cepat sini, habis ini kamu naik.” Teriak Runi begitu melihat wajahnya. Mata Rama menyapu seisi ruang, “Anggun mana? Aku kan harusnya naik bareng dia..”
“Alaaah…Anggun ra ono, ra iso. Ndadak’e bae kalo ngabari. Tapi wes ono gantine, kamu tenang saja.” Mas Cipto mendorong badannya supaya cepat bersiap.
Tak lama musik berganti, gilirannya tiba! Dia memantapkan hati, melangkah kaki. Sampai di atas keluarlah seluruh gejolak emosinya. Dengan suara lugas membahana, Ramanda membusung dada seiring suara tawanya yang epik. Penonton pun tak bisa tidak terkesima. Mata mereka terpaku pada Ramanda seorang. Sampai Ramanda melihatnya….
Nona cantik dalam balutan busana Jawa. Jemarinya menunjuk Rama sekilas, kemudian berlenggak gemulai mengikuti tari badannya yang elok. Senyum manis menghias wajah gadis itu selintas.
Ramanda membisu. Lalu bagai telur dipecahkan di atas wajan, isi otaknya berhamburan tak tentu arah. Semua naskah yang sudah dihafalnya, latihan-latihan ekstensif hari-hari ke belakang buyar begitu saja. Panggung yang tadi direngkuhnya erat kini lepas dari genggaman. Hilang terbius oleh gemulai nona cantik di depannya.
— gelap.
“Kamu tidak apa-apa?” Ucap Mayu terbata-bata sambil menawarkan secangkir teh pahit ke muka Ramanda.
Ramanda menatap teh itu nanar, ia mengurai senyum sepahit teh di depannya.
“Aku dipecat, Yu. Panggung itu…pentas itu…aku kehilangan separuh diriku di sana.”
Mayu tersenyum “Memangnya kamu siapa? Separuh dirimu itu apa?”
“Aku..”
“Kamu kan…Ramanda, yang setiap pagi melihat aku seperti aku itu perempuan aneh.”
Ramanda terkejut, ternyata nona cantik sadar kalau ia selalu memperhatikannya. Mengira ia menganggapnya aneh pula!
“Eh..tidak Mayu, aku..” Ramanda sendiri bingung akan beralasan apa
“Tidak apa. Tapi kamu Ramanda yang setiap malam membunyikan lagu Yuki kan? Kamu Ramanda yang pergi ke kampusku setiap pagi. Belajar melukis padahal kamu suka berakting? Kamu Ramanda yang suka diam saja saat aku menyapa di kelas?”
Ramanda diam
“Hihihi..kamu tahu tidak? Aku menyukai Ramanda. Aku suka bahkan saat dia bukan lagi Rahwana.”
Ramanda semakin bisu. Tak tahu mau berkata apa. Tetapi hatinya tersenyum. Suara gagak di atas kini terdengar begitu merdu. Mendadak ia tak merasa harus mengambil sektsanya. Wajah di depannya jauh lebih cantik dari sketsa manapun yang pernah ia buat.