Skip to content

Aku Takut…

RLWC (24/10/12)
tema: mengolah setting dari teman (bagasi corona ’70 dengan aroma makanan sisa)

BRAG! Getarannya sampai terasa dalam perutku. Pintu itu di tutup lagi. Lagi-lagi tinggal bau pizza keju sisa kemarin temanku hari ini. Bahkan lelaki itu menolak untuk sekadar memaki padaku. Tidak seperti biasanya. Sedari pagi ia sibuk mondar-mandir di kota. Tidak tahu bicara dengan siapa saja. Tidak tahu apa lagi yang akan dilakukannya. Tidak mau tahu. Aku memejamkan mata, mencoba tidur.

Selasa pagi bel di rumah berbunyi nyaring. Anehnya, waktu Ibu membuka pintu tak ada orang di sana. Tapi seperti biasa Ibu cuek saja. Tak lama ia mengantarku ke pintu. Hari itu adalah hari pertamaku ke sekolah sendiri. Sudah terbayang jalan-jalan yang akan kulewati bersama Milo, anjingku. “Hati-hati ya, Nak. Ibu akan melihatmu dari jauh..” Ibu mencium keningku. “Cuma dua blok ini, tenang Bu!” Sahutku riang. Aku melangkah kaki dengan  semangat. Tak lama aku sampai di perempatan Daru. Kira-kira beberapa langkah dari perempatan itulah, anjingku Milo menggonggong tak karuan. “Hush..Milo! Kenapa kamu? Kenapa? Ssst..” Semakin kutarik tali kekangnya, ia malah semakin liar. Tahu-tahu ada yang menahan bahuku. Kudengar Milo semakin gelisah. Agaknya percuma, karena yang kutahu berikutnya hanya aroma-aroma busuk sisa mulut bau si penculik di sini.

Aku tak pernah berontak. Memang ada gunanya? Aku tak pernah mendengar suara orang di luar sana selain lelaki itu. Sesekali ia membuka pintu bagasi, lalu mejejalkan sepotong dua potong roti ke mulutku. Ugh..rasanya tidak enak! Ingin muntah aku setiap memakannya. Tapi yah…aku juga tak mau tidur di atas muntahanku sendiri. Aku tidak tahu sampai kapan aku di sini. Waktu ia pertama membawaku, lelaki itu pernah bilang tak akan pernah mengeluarkanku barang sejengkal pun dari bagasi apek ini. “Kalau perlu apa-apa panggil saja aku pakai ini.” Dia melemparkan sebuah benda kotak dengan tombol di tengahnya. “Awas, jangan berisik kamu!” Suara beratnya terus terngiang di kepalaku, membuatku tak mau tidur.

Kalau tidak salah, sekarang sudah empat hari sejak hari itu. Aku kangen Ibu. Aku takut. Bukan takut mati, justru aku tak mau memikirkan apa yang akan menimpaku sebelum itu…

“Kriiing…” Telepon genggam di saku celananya berbunyi lagi. Ini sudah tiga kali siang ini. Dia tidak jadi memberiku makan. Cepat-cepat telepon itu diangkatnya. Uh..aku tidak bisa mendengar apa yang dia bicarakan. Tapi nada suaranya kedengaran senang sekali. Uang tebusankah? Ayahku tidak begitu kaya, tak mungkin ia sesenang itu. Lalu apa?

“Ayo turun! Hari ini kamu akan kumandikan.” Katanya. Ya Tuhan…tubuhku bergidik seketika. Apalagi saat ia mulai mengangkat tubuhku dan membawaku menapak jalan-jalan berbatu terjal. Sejurus kemudian ia menurunkan sebilah bambu. Gemerincing suaranya bersahutan dengan aliran air yang mulai turun membasuh tubuhku. “Ayo mandi..” Ia membuka bajuku satu-satu, kemudian membasuh tubuhku dengan cermat. “Ngga boleh ada yang kotor..” Gumamnya. Setelah mandi, lelaki itu membawaku ke sebuah ruang. Bau pesing bercampur pewangi lemon membuat hidungku serasa mau meledak. “Hoekk.” Aku berusaha menahan napas. “Heh, ayo makan!” Bentaknya. “Habis ini kamu ngga boleh makan sampai besok.” Aku diam saja. “Heh, kamu tu selain buta juga bisu ya?!” Ia menghardik lebih kencang. Aku malah semakin tak berani bicara. “Hih…Ya sudahlah, sama saja. Yang penting besok kamu sudah bukan urusanku.” Dia tertawa ringan sementara tubuhku semakin gemetar. Kenapa Ayah dan Ibu tidak mencariku? Apa mereka tidak bisa menemukanku? Air mataku menetes pelan-pelan…tanpa suara.

Burung-burung bernyanyi di kejauhan. Suaranya saling bersahutan. Ibuku bilang, itu pertanda hari sudah pagi. Aku ingat rumpun tanaman di depan jendela kamarku. Aku suka mencium wangi tanaman di pagi hari sambil menunggu burung-burung bernyayi. Sekarang tak ada jendela di sini. Ranjang reyot yang semalam aku tiduri juga sudah tidak jelas baunya. KRIEET…Lelaki itu membuka pintu kamar. Lalu cepat-cepat menyeret aku keluar, melewati ruangan bau pesing tadi malam…Jalan-jalan berbatu terjal…Bagasi pengap yang sama. “Mau dibawa kemana aku?” “Ngga mau…ngga mau…!!” Jeritku. “Nah…itu bisa ngomong. Berisik pula!” Dia membekap mulutku dengan kain, lalu mengikat kedua tanganku. BRAG! Pintu bagasi di tutup lagi. Gelap…bau…takut. Aku takut…

Waktu pintu bagasi terbuka lagi, aku tahu aku tak bisa apa-apa. “Yang ini?” Tanya sebuah suara, bukan lelaki yang biasa. Ini orang lain! Aku mau diapakan?! “Iya..dicoba aja dulu. Siapa tahu cocok. Kalau tidak, mungkin cocok untuk yang lain.” Lelaki yang menculikku bersuara. Rasa takut menjalar di sekujur badanku. Aku mencoba berontak sekuatnya. Coba? Coba apa? Apa yang mau dicobakan padaku?! Lelaki satunya menarik tanganku yang terikat tali. Lalu tiba-tiba kurasakan dua tangan kuat mengangkat tubuhku keluar bagasi. Tak lama aku dibaringkan di atas ranjang berbusa yang kaku. “Hati-hati..” Kata lelaki tadi. “Begitu sampai ruang operasi, cepat injeksi.” Hah?! Injeksi? Apa itu? Obat bius? Apa?! Jangan-jangan….

Percuma. Dalam sekejap hidungku sudah penuh aroma obat. Mataku semakin berat. Dunia gelap yang biasa kulihat kini terasa semakin pekat…pekat…lalu hilang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *